Pengalaman Mengikuti UKW, Pentingkah Bagi Profesi Wartawan?

Penulis (Kemeja Putih) saat menerima sertifikat UKW dari Penguji, Jufri Alkatiri

 

Catatan:

AGRIYANTO REPPY

“MAAF, Anda belum kompeten jadi wartawan!” Kalimat ini pernah diingatkan senior saya yang sudah mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) dilaksanakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta awal Oktober 2017.

Katanya, LPDS, salah satu Lembaga penguji kompetensi wartawan yang diakui Dewan Pers, sangat kredibel jika melaksanakan UKW. Tertib. Terlambat hadir saja menjadi salah satu poin penilaian wartawan mengikuti UKW.

Tentu kalimat ‘Maaf, Anda belum kompeten jadi wartawan’ ogah bagi saya. Jika akhirnya kalimat itupula sampai diutarakan penguji ke saya, bukan main malunya.

Yah, mau taruh dimana muka saya sebagai Pemred di media online yang saya pimpin. Tentu sejumlah wartawan saya juga akan malu memiliki Pemred tidak kompeten.

Big Bos perusahaan media online yang saya pimpin pun akan kena getahnya. “Saya salah mempercayakan dia sebagai Pempred”, mungkin begitu kata Big Bos dalam benak saya.

Maklum, sejak tahun 2000 menjadi wartawan di sebuah media cetak anak perusahaan Group Jawa Pos di Kota Manado, hingga kini sebagai wartawan media online, saya terlalu cuek dengan UKW yang beberapa kali dilaksanakan sebuah organisasi wartawan di Manado yang diakui Dewan Pers.

Bukan tidak mau, tapi belum moot untuk mengikuti. Namun setelah puas mendengar bagaimana perkembangan profesi wartawan dan aturan mainnya kedepan nanti yang terus ‘dimodifikasi’ Dewan Pers, akhirnya tergelitik hati saya mengikuti UKW.

Pada awal November lalu saya mendengar informasi LPDS akan melaksanakan UKW, tepatnya tanggal 14 hingga 16. Niat saya mengikutinya benar-benar bulat. Saya dari Manado, bersama dua teman wartawan dari Kabupaten Minahasa Utara pun bertolak ke Jakarta.

Tentu dengan niat kami akan merebut sertifikat standar kompetensi wartawan setelah melalui UKW yang berlangsung di Lantai III Gedung Dewan Pers, Jln. Kebon Sirih 34, Jakarta.

Ada 3 kategori jenjang akan diikuti; Muda (Reporter), Madya (Redaktur) dan Utama (Pemred). Belum ada pengalaman mengikuti tahapan UKW, saya langsung lompat mengikuti jenjang Utama.

Belum hari pertama UKW, perasaan tegang, gugup, cemas bahkan sempat nervous tiba-tiba menyelimuti saya tatkala terbayang kembali jika sampai penguji mengeluarkan kalimat; ‘Maaf, Anda belum kompeten jadi wartawan’.

Pikiran saya bukan karena materi ujiannya berat. Tapi malunya jika tidak lulus. Saya yang sudah dianggap wartawan senior pasti dibilang tidak kompeten, tidak professional dan tidak layak jadi wartawan utama. “Bisa bayangkan malunya gimana”.

Hari pertama Work Shop dengan nara sumber para penguji dari LPDS masing-masing Ketua Dewan Pengurus LPDS, Bambang Harymurti dengan materi Manajemen Kovergensi Media Masa dan Pentingnya UKW bagi Wartawan dan Perusahaan Pers.

Direktur Eksekutif LPDS, Priyambodo RH dengan materi Analisa Isi dan Pemetaan Karya Jurnalistik Berbasis Database Online dan Pedoman UKW. Kemudian staf pengajar, Dr. Jufri Alkatiri, MSi, MA.

Hendrayana dengan materi Ranjau Hukum Terkait Delik Pers dan KEJ serta materi Liputan Investigasi dan Prediksi Masalah Peliputan oleh A.A Ariwibowo.

Kami 28 peserta wartawan dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti dengan antusias. “Perhatikan baik-baik yah, karena semua belum ada jaminan untuk lulus. Pelaksanaan UKW sebelum-sebelumnya, sampai 8 persen ada yang tak lulus,” kata Priyambodo RH.

Pak Pri, biasa dia dipanggil, salah satu penguji kocak. Penampilannya penuh lelucon menceritakan pengalaman lucunya sebagai wartawan tapi belum bisa mengalahkan ketegangan kami.

Pak Pri menjelaskan bagaimana nilai-nilai penentuan untuk lulus dan tidak lulus hingga cara ujiannya. “Untuk lulus harus punya bobot nilai 70 ke atas. Kalau Cuma 69, yah nanti mengikuti ulang UKW,” katanya.

Besoknya, hari pertama UKW. Semua penguji berjejer di depan. Mereka serius, tapi kami 28 peserta wajah tegang. Nilai 70 yang harus diraih bukan gampang.

Kami dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masung 6 sampai 8 peserta dengan satu penguji.

Ada 8 materi ujian; Rapat Redaksi, Mengevaluasi Rencana Liputan, Menentukan Bahan Liputan Layak Siar, Mengarahkan Liputan Investigasi, Menulis Opini/Editorial, Kebijakan Rubrikasi, Fasilitas Jejaring dan Rapat Evaluasi Redaksi.

“Akhir penilaian bukan rata-rata yah. Tak lulus satu, tak lulus UKW,’’ Kata Priyambodo, membuat kami makin tegang. “Kami berikan kesempatan kepada peserta yang ingin merubah jenjang ujiannya. Misalnya ada yang memilih Utama tiba-tiba ingin merubah ke Madya, kami persilakan sebelum lanjut ujiannya,” sambungnya.

Rata-rata 28 peserta yakin tidak merubah jenjang ujian yang akan diikuti. “Berarti yakin semua yah dengan pilihan jenjang ujiannya,” ujar Pak Pri lagi. Peserta Jenjang utama paling banyak. Madya hanya 2 peserta, Muda 3 peserta.

 

Penulis (kemeja putih) bersama peserta lain saat mengikuti ujian.

 

TEGANG TERPILIH PIMPIN RAPAT REDAKSI

PARA penguji mengumumkan paserta yang akan diuji. Kami diuji di tiga ruangan berbeda. Saya bersama 7 peserta lain diuji oleh Dr. Jufry Alkatiri, MSi, MA.

Saya tak meragukan kompetensi penguji ini. Jufry Alkatiri merupakan seorang Dosen Ilmu Komunikasi sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Punya pengalaman sebagai senior producer Liputan 6 SCTV Jakarta.

Rapat Redaksi sebagai pembuka ujian pertama. Kami tiga kelompok kecil dikumpulkan lagi dalam satu ruangan. “Reppy, kamu salah satu mewakili Pemred dari kelompok kita yah,” kata Jufry.

Ketegangan saya kembali memuncak. Kami ada 6 Pemred perwakilan dari tiga kelompok. Syukurlah, dalam rapat ketegangan saya sedikit terobati berkat pengalaman praktek saya saat masih berjibaku sebagai salah satu pimpinan redaksi media cetak anak perusahaan Group Jawa Pos di Manado ketika itu.

Bedanya, memimpin rapat redaksi dalam UKW, redaktur dan reporternya hanya simulasi. Hasilnya bisa dibayangkan! Peserta lain menjadi Redaktur dan Reporter yang diminta menyampaikan usulan dan masukan materi liputan untuk disimulasi saling berebutan.

Mic pengeras suara sebanyak 3 buah terasa tak cukup. Peserta saling berebutan menyampaikan usulan liputan. Sedangkan para penguji hanya berdiam di belakang kami menyaksikan peran peserta dalam simulasi rapat redaksi tersebut. Para penguji menilai sejauh mana peran kami dalam rapat redaksi itu.

Ujian kedua mengevaluasi rencana liputan selanjutnya menentukan bahan liputan layak siar yang terungkap dalam usulan saat rapat redaksi. Dari sekian banyak usulan, kasus tersandungnya Ketua DPR RI Setya Novanto dalam Proyek e-KTP ‘mamanas’ dalam simulasi rapat  redaksi.

Kami 6 Pemred pun menyetujui kasus Setnov yang tengah ditangani KPK dijadikan HL (Headline). “Kasusnya memang masih panas. Greget beritanya luas. Selain Ketua DPR RI, Setnov juga baru terpilih Ketua Umum Golkar. Dipastikan kasusnya akan berpengaruh ke Partai Golkar di daerah. Beritanya nanti bisa dijadikan beberapa engel,” begitu alasan saya sampaikan.

Waktu hampir menunjukan pukul 21.00 WIB, kami dikumpulkan kembali dalam satu ruangan. Para penguji sudah berada kembali di depan. “Setelah melihat antusias teman-teman peserta menjalani ujian hari pertama, saya memberikan nilai 70. Itu baru saya yah, belum tentu teman-teman penguji lainnya,” celutuk Pak Pri.

Hari kedua ujian, tensi ketegangan kami sudah menurun. Tidak lagi drop seperti hari pertama. Wajah kami sedikit rileks. Dimulai dengan ujian menulis Opini/Editorial diberi waktu 30 menit dengan laptop masing-masing dibawa peserta.

Materi ujian selanjutnya mengarahkan liputan investigasi. Masih ujian tertulis dengan waktu 30 menit. Ujian ini kami dimintakan bagaimana melakukan investigasi dalam sebuah tim work dengan mengumpulkan hipotesa yang dikembangkan menjadi sebuah berita investigasi.

Termasuk rincian biaya liputan, keamanan dan perlindungan terhadap wartawan yang ditugaskan melakukan investigasi.

Tulisan Opini dan Investigasi ini kemudian dicetak melalui printer. “Harus diketahui juga yah perbedaan Liputan Investigasi dan Liputan Mendalam atau Indeph News. Liputannya sama tapi penyajian beritanya beda,” kata penguji A.A Ariwibowo.

Setelah sempat santai mengerjakan ujian Opini dan Investigasi, tibalah di ujian Fasilitas Jejaring. Kami disuruh cari dan wawancara langsung nara sumber by telepon di depan penguji dengan menggunakan speaker HP.

Saya disuruh 20 nara sumber oleh penguji. Peserta lain dalam kelompok kami rata-rata 10 sampai 15 nara sumber. Dua buah HP di tangan saya bergantian utak atik mencari nomor telepon untuk mencukupi banyaknya nara sumber yang diminta penguji.

“Biar nara pidana nggak apa-apa ditulis. Nara pidana itu juga kan nara sumber,” kata Jufry Alkatiri, penguji kami.

Materi ujian ini kembali membangkitkan ketegangan kami. Saya menulis nara sumber, mulai dari Wali Kota Manado, Wakil Wali Kota, Ketua DPRD, Kapolres, para anggota DPRD, sejumlah pimpinan Perangkan Daerah, pimpinan partai hingga teman ojek.

Penilaian ujian Jejaring ini adalah jabatan dan kapasitas nara sumber. Yang bikin sakit kepala, jika nara sumber tak mengangkat teleponnya di depan penguji karena misalnya sedang berada di sebuah kegiatan penting.

“Masak kelas Pemred, pimpinan daerah saja gak mau angkat telepon,” cetus Jufri. Tentu ini tak akan dapat nilai. Celaka lagi, jika penguji yang menentukan nara sumber akan kita hubungi untuk diwawancara, bukan kita sendiri yang menentukan.

Saya sendiri diminta menghubungi 3 nara sumber. Pertama Wali Kota Manado, GS Vicky Lumentut. Kemudian Wakil Wali Kota, Mor Bastiaan dan Kapolresta Manado, Kombes Pol Hisar Siallagan.

Kebetulan sehari sebelum pelaksanaan UKW, Presiden Jokowi bertandang ke Manado membuka Kongres GMNI, menjadi bahan wawancara saya, termasuk soal Promosi Pariwisata yang tengah dilakukan Pemkot Manado serta antisipasi ISIS masuk Manado.

Proses ujian Jejaring berjalan mulus. Tibalah ujian paling terakhir, Rapat Evaluasi Redaksi. Kami dikumpul lagi dalam satu ruangan. Suasana gaduh pun kembali menyeruak.

Ada peserta yang memprotes soal penjudulan HL soal kasus Setnov. Tapi suasana gaduh itu tidak berlangsung lama. Karena simulasi rapat evaluasi hanya menindaklanjuti proses peliputan wartawan di lapangan sebagaimana yang terungkap dalam simulasi rapat redaksi rencana liputan tadi.

Selanjutnya masing-masing penguji menyampaikan evaluasi dan nilai ujian para peserta. “Berdasarkan hasil ujian, peserta di kelompok saya rata-rata nilai 80,’’ kata Jufri.

Beda cara penyampaian dari penguji Ariwibowo. Dia mengumumkan nilai peserta paling tertinggi. Sambil membaca kedelapan peserta yang diuji tanpa menyebut bobot nilai rendah dari pesertanya. “Berarti lulus semua donk. Bikin tegang saja,” celetuk Pemred Telegrafnews.co, Rahman Ismail.

Akhirnya kalimat “Maaf, Anda belum kompeten jadi wartawan!” yang awalnya sempat membuat drop mengikuti UKW, berhasil saya lewati.

Penulis (Paling Kanan), bersama lima peserta lain dipercayakan sebagai Pemred mewakili kelomok masing-masing.

 

SEBERAPA PENTINGKAH UKW BAGI WARTAWAN

DIREKTUR Eksekutif LPDS, Priyambodo RH mengatakan, saat ini Dewan Pers sedang menggodok MoU bersama Kementerian Dalam Negeri terkait kapasitas wartawan dalam melaksanaka tugas Jurnalistiknya.

Saat ini sudah diberlakukan buat wartawan yang melakukan liputan di istana Kepresidenan atas usulan juru bicara Presiden, Johan Budi.

“Wartawan yang ikut liputan bersama Pak Presiden Jokowi itu sudah kompeten, sudah melewati Uji Kompetnsi. Ini atas permintaan Pak Johan Budi. Mudah-mudahan MoU Dewan Pers bersama Pak Mendagri, juga berlaku sampai di daerah,” kata Priyambodo saat memberikan materi Work Shop Alumni LPDS November 2017.

Bisa bayangkan jadinya kedepan MoU ini diberlakukan sementara masih banyak wartawan belum melewati UKW. Nah, bagaimana memperoleh sertifikat standar kompetensi wartawan? Yah tentu harus mengikuti UKW dari Lembaga penguji yang sudah diverifikasi Dewan Pers.

Selain LPDS, bisa juga organisasi wartawan, perusahaan pers yang sudah diverifikasi Dewan Pers, Perguruan Tinggi atau Lembaga Pendidikan Jurnalistik.

Teman-teman wartawan di daerah jangan takut mengikuti UKW. Sebab UKW bukanlah monster. Pengalaman saya mengikuti UKW, ternyata tidak seperti yang saya bayangkan.

Yang dihadapi saat UKW, seperti pekerjaan kita sehari-hari sebagai wartawan. Jika kita seorang jurnalis dan memulai proses dari Reporter, Redaktur, Redpel hingga Pemred yang sesungguhnya di sebuah media massa, dijamin tak akan menemui kesulitan menghadapi UKW.

Yang membedakan disini, antara wartawan dan bukan wartawan. Ini akan menyebabkan tidak lulus dalam UKW karena kemampuannya mengikuti jenjang ujian (Muda, Madya dan Utama).

“Sekarang ini banyak wartawan pasukan Kopasus (Kopi Paste Khusus). Hanya lead beritanya dirubah, tapi tubuh berita sampai foto sama. Ini sangat diharamkan. Wartawan plagiat namanya,”  tegas Priyambodo.

Seorang wartawan yang sesungguhnya, dia mampu melaksanakan kegiatan Jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Sebagai sesama profesi, mari sama-sama kita mematuhi peraturan Dewan Pers No.1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan.

Agar bisa lulus UKW, tak perlu takut tapi jangan dianggap enteng. Mari jadi Wartawan Berkompeten…!!! ***

(Penulis adalah Pemred Media Online www.manadoline.com)