Sebuah Ruang di LPDS

Catatan Baskoro

Tokoh-tokoh pers itu mengelilingi sebuah bilik di lantai tiga Gedung Dewan Pers: ruang Lembaga Pendidikan Pers Dr. Soetomo.

Jika empunya  berapat atau tempat itu dipakai pelatihan jurnalistik dan sejenisnya,  tokoh-tokoh itu seperti mangawasi. Ada yang tersenyum lebar, tersenyum kecil,  bibirnya terkatup, atau pula seperti merengut.  Mereka bagai memperhatikan –atau mengawasi-  apakah  yang berada dalam ruang itu telah melakukan semuanya dengan tepat. Dengan benar.

Mereka, Jacob Oetama, Goenawan Mohamad, Masmiar Mangiang, Atmakusumah Astraatmadja memang tak hadir secara fisik. Mereka hadir dalam foto wajah mereka yang tergantung di dinding. Semua terbingkai dalam frame yang sama, bingkai sederhana,  dengan tulisan nama mereka di bawahnya.  Foto  yang mungkin diambil juru foto  lembaga ini sendiri dan dipilih sesuai selesai sang pemotretnya.

LPDS, demikian akronim lembaga ini, bisa disebut  “anak kandung” Dewan Pers. Lembaga yang lahir  pada 23 Juli 1988 ini bernaung di bawah Yayasan Pers Dr. Soetomo yang didirikan pada 5 Februari 1988. Yayasan Pers Dr. Soetomo  dibentuk sebagai amanah hasil  sidang Dewan Pers di Bali pada 1987. Para pendiri Yayasan, antara lain, Jacob Oetama, Dja’far Assegaff, dan Zulharman. Direktur LPDS pertama  Dja’far Assegaff yang kemudian, karena ditugaskan sebagai duta besar  Vietnam, digantikan Jacob Oetama yang juga merangkap ketua Yayasan.

Pada 2008, Yayasan bersalin nama menjadi Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro.  Seperti  Soetomo  –dokter lulusan Stovia yang mendirikan surat kabar Soeloeh Indonesia dan Majalah Penyebar Semangat—   Adinegoro, adik pahlawan nasional  Muhammad Yamin yang bernama asli Djamaluddin Gelar Datuk Maradjo itu juga pernah bersekolah di Stovia dan seorang wartawan.  LPDS didirikan dengan tujuan melahirkan jurnalis yang baik dalam arti luas, termasuk  menjunjung tinggi nilai-nilai profesi dan etika wartawan dalam keseharian menjalankan tugas mereka.

Tak terhitung lagi jumlah wartawan yang pernah dididik di LPDS.Mereka datang dari mana-mana dan didatangkan –“disekolahkan”- oleh beragam lembaga. Ada yang dikirim perusahaan persnya,  pemerintah daerah, atau mendapat beasiswa dari LPDS.

Foto-foto para alumnus LPDS ini juga tergantung di lorong-lorong LPDS. Sejak pintu masuk hingga ruang rapat para “tokoh pers” tadi. Sebagian besar masih muda –usia-usia awal menggeluti dunia kewartawanan. Wajah-wajah yang segar, penuh semangat, dan optimisme.  Sebagian mereka saya kenal, ada yang pernah sekantor dengan saya dulu di Majalah Forum, seperti Sensen, Retno,  Sri Raharti (Nining), juga Hery Wardoyo. Yang terakhir ini kemudian melompat ke dunia politik, sempat menjadi wakil bupati sebuah kabupaten di Lampung.

LPDS memiliki pengajar dari mana-mana. Tidak semuanya dari LPDS. Dan tentu saja para pengajar itu dipilih secara selektif. Nah mereka yang fotonya dipasang mengelilingi ruang di lantai tiga itulah  yang pernah mengajar di LPDS: mereka yang tentu integritas kewartawanannya tidak diragukan. Dari Tempo, almamater saya, selain Gonawan Mohammad, ada, antara lain,  Leila S, Chudori dan Yopie Hidayat.

Ada sekitar  40 foto tokoh pers, wartawan, di ruang serba guna ini: ruang rapat, ruang pertemuan, juga ruang pelatihan. Jika LPDS memiliki acara dan ruangan itu tidak cukup, di belakang ruangan itu masih ada ruangan yang dinding penyekatnya bisa dibuka.  Di ruang belakang ini juga tergantung foto tokoh-tokoh pers dan wartawan Indonesia. Bedanya, mereka sudah meninggal: Syubah Asa, J.B Wahyudi, Slamet Djabarudi…Ruang ini jika tak dipakai untuk rapat, biasanya digunakan sebagai tempat penunjang operasional “ruang utama.”  Tempat komputer, peralatan pelatihan, juga konsumsi.

Saya sendiri pernah beberapa kali diundang  LPDS untuk mengajar di sana. Salah satu yang saya ingat –beberapa tahun silam-  mengajar sekitar 20-an wartawan dari Timor Timur.  Sebagian besar  pemimpin redaksi. Saya lupa materi apa yang diminta LPDS saat itu, investigasi, penulisan berita hukum,  atau manajemen rapat dan organisasi Tempo. Yang saya ingat, beberapa hari kemudian, para wartawan dari Timor Timur itu kemudian bertandang ke kantor Tempo di bilangan Palmerah, Jakarta Selatan.

LPDS kini juga sebagai salah satu lembaga yang diberi kewenangan Dewan Pers melakukan Uji Kompetesi Wartawan (UKW). Bahkan LPDS-lah salah satu lembaga pertama yang diberi kewenangan dan melakukan UKW.  Mereka yang lulus UKW  -terbagi dalam jenjang wartawan muda, madya, dan utama, akan mendapat “kartu lulus UKW” dari Dewan Pers  -semacam kartu pers.  Singkatnya mereka yang lolos UKW sudah diakui kewartawanannya oleh Dewan Pers.

UKW merupakan program Dewan Pers untuk meningkatkan kualitas wartawan Indonesia  -sekaligus mencegah hal-hal negatif dari profesi wartawan  –juga pemilik modal.  Misalnya, seseorang membuat media massa dan kemudian menunjuk saudara-nya yang tidak tahu apa-apa tentang pers menjadi pemimpin redaksi. Hal demikian harus dicegah. Itu sebabnya, kini, untuk menjadi pemred, seseorang telah dalam jenjang wartawan utama. Itu artinya dia sudah lulus UKW wartawan utama yang mesti menguasai, memahami, antara lain, penerapan kode etik, perencanaan berita, organisasi media massa, membuat tajuk/opini dan sebagainya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika pemimpin redaksi menyalahgunakan kewenangannya karena tidak paham (atau tidak mau tahu) yang dilakukannya melanggar kode etik wartawan dan Undang-undang Pers.

LPDS sudah melakukan, mungkin, puluhan kali UKW berbagai perusahaan pers di Indonesia. Ada yang berlangsung di kantor LPDS ada juga di tempat perusahaan pers itu berada, di Jakarta maupun luar Jakarta. Yang menarik sistem UKW yang dilakukan LPDS  -selain karena lembaga ini pionernya-  sebelum ujian, para pengajar/penguji LPDS akan memberi training/materi jurnalistik kepada peserta uji. Materi itu: hukum pers, investigasi reporting, peta media massa, dan teknik penulisan tajuk.  Menurut saya, materi-materi yang diajarkan  seharian ini sangat penting diketahui para wartawan. Para peserta bisa menggunakan kesempatan tersebut untuk menggali informasi dan ilmu dari para pemberi materi.  Ini yang mungkin tidak ada pada lembaga penguji lain. Saya sendiri pernah diminta untuk memberi materi investigasi saat LPDS melakukan UKW untuk para wartawan  indosport.com.

Mantan bos saya di Tempo, Bambang Harymurti –kami biasanya memanggilnya BHM- yang membawa saya “berlabuh” ke LPDS. Sekitar enam bulan silam, BHM merekomendasi saya  bergabung dengan LPDS. Saya tentu saja senang, terutama, selain kredibilitas lembaga ini, para pengelolanya sebagian  tak asing lagi bagi saya. Misalnya, Mas Priyambodo, Pak Atmakusumah, juga Direktur Eksekutif LPDS, Hendrayana,  yang sebelumnya lama memimpin LBH Pers.

Saat di Tempo, selain menjadi Redaktur Pelaksana Kompartemen Hukum dan kemudian Redaktur Eksekutif, saya juga merangkap sejumlah jabatan  -lebih tepatnya “tugas”- yang berkaitan dengan pendidikan dan kinerja wartawan. Antara lain Kepala Biro Pendidikan Tempo dan Pelaksana Harian Ombudsman. Kepala Biro Pendidikan ini, selain tentu saja berkaitan dengan pelatihan wartawan, evaluasi tulisan-tulisan wartawan,  juga berkaitan dengan penilaian wartawan. Setiap  minggu selalu ada kompartemen yang hasil tulisannya di evaluasi oleh redaktur pelaksana.

Jika  berkaitan dengan berita koran, evaluasi biasanya siang hari karena petangnya mereka sudah bergelut dengan deadline. Ada pun Ombudsman melihat dan menelisik semua tulisan yang muncul di media grup Tempo, baik Koran Tempo, Majalah Tempo, dan Tempo.co.  Jika ada kesalahan, baik secara penulisan maupun etika jurnalistik  kami akan memanggil reporternya, redakturnya, bahkan pemimpin redaksinya untuk meminta penjelasan  -jauh sebelum berita itu menjadi masalah di luar.

Saya kadang tersenyum jika ada reporter yang sudah “keringatan”  mengetahui dirinya dipanggil Ombudsman. Bukan hanya karena dipastikan berarti tulisan mereka bermasalah, juga akibat kesalahan itu. Pernah ada redaktur utama yang tiga kali melakukan kesalahan dan mendapat hukuman tiga kali potong gaji  -sebuah peraturan perusahaan yang secara pribadi saya tidak menyetujui.  Namun, untuk tingkat reporter seingat saya belum ada gajinya yang dipotong karena kesalahan tulisannya. Ditunjukan  kesembronoan, keteledoran,  dan “kebodohannya”  pun sudah membuat muka mereka merah  -sebuah hari dan pelajaran  yang mungkin akan terus mereka ingat.

Setelah beberapa kali datang ke LPDS, saya juga baru tahu di kantor ini banyak ruangan –kecil maupun besar. Di lantai atas ada ruang pertemuan, perpustakaan, serta ruang kerja Mas Priyambodo, yang menjadi direktur Eksekutif LPDS sejak 2008 hingga 2018.  Pak Bob, demikian pria berkumis yang pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita Antara di Eropa ini dipanggil (sebuah panggilan yang jika orang belum mengenalnya mengira si empunya nama berbadan besar –padahal sesungguhnya ceking  –tapi tampaknya liat, layaknya wartawan lapangan), pernah mengajak saya mampir ke ruangnya. Di dalamnya selain tumpukan buku-buku, saya melihat sebuah lukisan indah tergantung dan beberapa botol wine yang terlihat sedap isinya.  “Tapi, dia sendiri jarang minum, mungkin untuk tamunya,” ujar seorang staf LPDS.

Awas Kepala, peringatan mereka yang turun dari ruang rapat di lantai atas.

Juga yang saya baru tahu ada pula ruang terbuka menghadap ke Jalan Kebon Sirih yang penuh lalu lalang kendaraan. Tempat ini asyik untuk bercengkerama, ngobrol sembari menyeruput kopi….


Ada kejutan untuk saya. Pekan lalu saat saya ke sana, ada foto saya terpampang di sana. Saya tidak tahu sejak kapan foto itu terpasang dan kapan wajah saya yang seperti itu diambil. Mungkin yang “mengambil” Mas Didik, staf LPDS yang jika ada acara LPDS aktif memfoto sana-sini dan mengunggahnya di akun medsos LPDS.

Foto ukuran lumayan besar itu  terpasang di dinding agak ke belakang, berdampingan dengan sejumlah foto pengajar LPDS lain.  Saya tertawa kala  membaca nama di bawah foto itu. Dan tidak terlalu heran karena salah  -karena memang banyak yang salah menuliskan nama saya. “Mungkin yang mengetik sedang ngantuk,” kata Mbak Lucy, staf LPDS yang senang becanda.

Soal nama keliru itu gampang diperbaiki. Tapi penggantungan wajah foto saya di dinding  -di deretan puluhan foto-foto para tokoh pers itu- bak menasbihkan saya secara resmi menjadi pengajar lembaga ini.  Sebuah kejutan akhir 2018, yang juga berarti membawa konsekuensi lain untuk kami  -yang fotonya baru dicantelkan di ruangan itu.

Kamis, 14 Februari lalu, ketika saya ke LPDS, foto saya sudah berganti. Anglenya berubah. Tapi yang penting, namanya kini sudah bener…Trims untuk Pak Sauri  -staf LPDS- yang merevisi nama itu…