Tak Hadir Saat Pengukuhan, 12 RDP Akan Dipanggil KPUD Mitra

Ketua KPUD Mitra Wolter Dotulong saat mengukuhkan RDP di kantor KPUD Mitra.
Ketua KPUD Mitra Wolter Dotulong saat mengukuhkan RDP di kantor KPUD Mitra.

RATAHAN — Relawan Demokrasi Pemilu (RDP) merupakan perpanjangan tangan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam memberikan sosialisasi terkait pemilu 2019.

Oleh karena itu, KPUD Mitra telah mengukuhkan anggota RDP di Kantor KPUD Mitra baru-baru ini. Dari 55 RDP yang tercatat, ada 12 RDP yang tak dikukuhkan karena tak hadir.

Ketua KPU Mitra Wolter Dotulong mengatakan, RDP tersebut akan memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, guna menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya Pemilu dan peran masyarakat dalam Pemilu tersebut.

“Ini program KPU RI untuk pemantapan dalam bidang sosialisasi untuk 11 basis. Sasaran kita agar masyarakat tersentuh dengan informasi kepemiluan sehingga bisa menyadarkan para pemilih untuk berperan serta dan tentunya bisa meningkatkan partisipasi masyarakat,” ungkapnya.

Lanjut dikatakannya, para relawan ini bukanlah bagian dari penyelenggara, kendati demikian dalam tugas mereka ada kode etik yang tetap harus ditaati.

“Mereka bukan penyelenggara tapi ada kode etiknya. Materi kode etik kami sudah berikan. Jadi ini terkait masalah integritas sehingga dalam memberikan sosialisasi maka netralitas harus dijaga. Jangan sampai ada keberpihakan kepada perserta pemilu tertentu,” katanya.

Para relawan saat dikukuhkan di KPUD Mitra baru-baru ini.

Menurutnya, 12 relawan yang tak hadir tersebut akan tetap dipanggil untuk dimintai keterangan soal ketidakhadiran mereka.

“Karena tidak hadir tanpa pemberitahuan nanti mereka tetap akan kami panggil untuk dimintai keterangan,” jelasnya.

Selain itu, dalam sosialisasi di Medsos para relawan juga diminta berkoordinasi dengan pihak KPU, jangan sampai nantinya menimbulkan polemik dan memunculkan gugatan dari peserta pemilu.

“Jadi kami ingatkan para relawan agar selalu berkoordinasi dengan KPU. Kalau ada yang tidak jelas silahkan tanyakan. Jangan sampai terkena pelanggaran kode etik hanya karena tidak mau bertanya dan malas mencari tahu,” ujar Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan Otnie Tamod.

Lanjut dia mengingatkan untuk berhati-hati ketika mensosialisasikan, contoh surat suara yang ada lima disosialisasikan menggunakan lima jari tangan. Jangan sampai hal ini bisa menimbulkan masalah karena peserta pemilu lain merasa partai nomor lima yang diuntungkan. Begitu juga terkait penomoran calon presiden dan DPD, dimana penyebutan calon presiden disebut 01 dan 02, sedangkan calon DPD penomorannya dimulai dari nomor 21.

“Ini semua sudah diatur agar tidak memberikan celah hanya karena penyebutan nomor dinilai menguntungkan peserta pemilu tertentu. Jadi para relawan harus jaga netralitas dan hindari hal-hal yang bisa menimbulkan polemik sehingga keberadaan mereka bisa benar-benar memberikan dampak yang positif,” tukasnya.

Sementara itu, DR.Johny Taroreh, MSi yang hadir sebagai nara sumber mengingatkan relawan agar harus bisa memahami terlebih dahulu apa itu pemilu dan demokrasi.

“Harus bisa mensiasati bagaimana cara turun sosialisasi dan mengajak masyarakat untuk memilih. Pahami apa itu Pemilu dan Demokrasi, basis pemilih dan syarat memilih, serta baca UU No.7 2017 tentang Pemilu. Itu yang paling utama,” ungkapnya.

Lanjut dikatakannya, relawan dipersilahkan memilih metode sosialisasi, namun diingatkan untuk tidak menggurui.

“Jangan menggurui, relawan hanya memfasilitasi untuk mensosialisasikan. Selain itu juga relawan harus bisa melawan hoax,” pungkasnya. (fensen)