UN Diganti Asesmen, Mendikbud : Sama Tesnya, Penanganannya Yang Beda

Sistem standar asesmen kompetensi sama tesnya dengan Ujian Nasional (UN), tapi penanganan setelah asesmen itu berbeda-beda tergantung kebutuhan masing-masing daerah. Hal tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers melalui daring, Jumat (3/4).

”Asesmen kompetensi yang akan berubah dari UN itu ada beberapa perbedaan. Yang pertama asesmen kompetensi itu tesnya dilakukan di setiap sekolah di masing-masing jenjang tapi tidak harus seluruh angkatan siswanya mengambil,” ujar Mendikbud.

Menurut Mendikbud, itu sampling saja dari setiap sekolah, setiap angkatan, dari setiap jenjang SD, SMP, SMA sehingga tidak perlu semua anak di angkatan itu, di-grade itu, mengambil tesnya.

Lebih lanjut, Mendikbud menyampaikan bahwa sisi perbedaannya adalah apa yang terjadi setelah selesai melakukan asesmen kompetensi tersebut.

“Penanganan masing-masing daerah tergantung di level mana dia mendapatkan hasil asesmen kompetensi, disitulah yang akan ada segmentasi dari berbagai macam daerah,” tambah Mendikbud.

Menurut Mendikbud, Ia menjunjung tinggi keberagaman, walaupun asesmennya standar tapi cara penanganan setelah asesmen itu tidak standar karena memang beda-beda semua level sekolah di daerah.

Menjawab pertanyaan mengenai literasi, Mendikbud sampaikan ada dua hal yang akan dilakukan untuk meningkatkan literasi, yakni untuk mengubah paradigma dari sisi buku-buku yang diberikan kepada sekolah.

“Yang selama ini buku itu fokusnya kepada paket-paket pembelajaran dan kurikulum, sedangkan yang lebih penting adalah mencintai membaca,” ujarnya.

Karena itu, Mendikbud sampaikan konten-konten yang dipilih untuk perpustakaan di sekolah-sekolah dan lain-lain itu harus fokus kepada apa yang menyenangkan untuk murid-murid.

“Ini yang terpenting, bahwa kalau anak itu mencintai membaca dan dia tertarik secara independen/secara mandiri dia ingin membaca karena konten yang menarik, dari situlah proses literasi secara otomatis meningkat,” sambungnya.

Di pelajaran bahasa Indonesia pun, menurut Mendikbud, itu harus ada fokusnya kepada literasi, bukan hanya kepada gramatika dan bagimana kosakata Bahasa Indonesia.

“Tapi bagaimana konten-konten dalam kurikulum Bahasa Indonesia itu menggunakan buku-buku yang menyenangkan, menarik, cerita-cerita yang relevan untuk masing-masing jenjang siswa kita,” ujarnya.

Tambah Mendikbud, bukan untuk mempelajari Bahasa Indonesia tapi untuk mempelajari literasi, yaitu bisa cinta membaca dan mengerti bacaan, persuasif komunikasi melalui pembicaraan atau verbal, dan juga kemampuan persuasif komunikasi dari menulis.

“Itu adalah perubahan yang menurut kami akan mendorong angka literasi kita naik. Dan tentunya dalam berbagai channel bukan hanya melalui buku tapi bahkan kita bisa melakukannya melalui channel-channel online maupun TV,” imbuhnya.

Menjawab pertanyaan mengenai rencana mengurangi mata pelajaran, Mendikbud sudah sepakat akan menyederhanakan kurikulum sehingga lebih mudah dimengerti buat guru dan juga buat siswa-siswa kita.

“Jadi yang sudah jelas adalah beban konten itu harus turun. Jadi beban jumlah konten yang harus dipelajari itu harus turun sehingga di masing-masing konten bisa lebih mendalami kompetensi-kompetensi yang terpenting,” katanya.

Apakah itu artinya nanti mata pelajarannya dikecilkan atau konten per mata pelajaran dikecilkan, menurut Mendikbud, itu masih dalam tahap sedang dikaji dengan tim internal serta mitra-mitra, dan mendapatkan input dari berbagai macam organisasi mengenai reformasi kurikulum.

“Jadinya saya belum bisa jawab apakah mata pelajaran yang akan dikurangi atau konten di dalam masing-masing dikurangi,” tambahnya. (setkab/swb).