Uni Lubis: Rumus Hidup Bahagia Adalah Empati

MANADO – Jurnalisme Responsif Gender dibahas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Republik Indonesia (RI) saat Bimbingan Teknis (Bimtek) isu-isu gender dan anak bagi SDM media di Sulawesi Utara (Sulut), Selasa (15/10/2019) di Hotel Aryaduta Manado.

Bimtek PPPA RI salah satu narasumber Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis di Hotel Aryaduta Manado, Selasa (15/10/2019) (foto:kand/ML)

Bimtek PPPA RI tersebut mengandeng Forum Jurnalis Perempuan (FJPI) Provinsi Sulut dan didukung penuh Dinas PPPA Provinsi Sulut. Dimana terkait Jurnalisme Responsif Gender yang dibahas sebagai narasumber Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis.

Adapun kegiatan ini dibuka oleh Assisten Deputi Partisipasi Media Drs Fatahila MSI dan dihadiri Kepala Dinas PPPA Sulut Ir Meike Pangkong, Kabid Partisipasi Media Ibu Susanti MAP, Ketua FJPI Pusat Uni Lubis dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Patirro) Widi Haryanto.

Contoh di lapangan dilontarkan salah satu peserta Bimtek Rosita Karim. Jurnalis senior ini menanyakan bagaimana jika meliput sidang di pengadilan seringkali bisa menjadi headline tapi jurnalis harus membuat berita lebih baru karena menyesuaikan dengan putusan, khususnya untuk berita kasus pemerkosaan, cabul atau korupsi?.

Peserta Bimtek 30 anggota FJPI bersama para narasumber dan Kementerian PPPA RI (foto:Ist)

Uni Lusbis menjawab pertanyaan tersebut dengan pemahaman terkait tujuan pemberitaan itu dilakukan.

“Esensi mengapa jurnalis memberitakan kejahatan supaya publik tidak menjadi korban dari kejahatan yang sama. Apa yang perlu dieksplorasi? Adalah modus. Yang tidak perlu dieksplorasi adalah indentitas korban dan mengapa korban menjadi korban misalnya soal bajunya yang seksi, bagaimana posisinya saat diperkosa dan lain-lain yang sebenarnya tidak perlu,” ujar jurnalis senior ini.

Ia menambahkan, jurnalis harus memberikan data ketika menulis kembali atau merefresh kasus yang sudah terjadi. Hal ini penting ketika melakukan peliputan di pengadilan, berita kriminal atau dalam peliputan lainnya.

“Kembali ke tujuan utama yaitu memberitakan kejahatan supaya orang lain tidak menjadi korban kejahatan yang sama. Bukan mendaur ulang tapi merefresh kembali dengan data dan itu juga baik untuk meningkatkan nilai berita?,” ungkapnya.

Ia juga berpesan dalam kasus pemerkosaan jangan salah memiliki diksi. Misalnya kasus pemerkosaan penggunakan kata ‘digagahi’ itu bukan sikap gagah.

“Begitu juga pertanyaan ‘kamu bagaimana kok bisa diperkosa?’ Itu pertanyaan yang bisa menimbulkan trauma dan itu jangan sampai media melanggar kode etik. Apalagi sekarang ada jejak digital,” ungkapnya.

Dalam liputan bencana, untuk berita yang responsif gender maka jangan hanya membuat berita bahwa korban hanya membutuhkan makanan, sebab dalam prespektif gender harus diingat bahwa wanita perlu pembalut, butuh ruang khusus untuk menyusui dan lainnya.

Selain pertanyaan Rosita Karim, peserta lainnya, Gracey Wakary, bertanya tentang banyak pihak termasuk sejumlah oknum pejabat pemerintahan yang tidak menghormati perempuan bahkan malah melecehkan jurnalis perempuan dengan menjadikan objek saat ‘chat di whatsApp’ bahkan acapkali berbicara ‘tidak sepantasnya’ misalnya ‘bisa dicolek dikit’ karena jurnalisnya cantik, bahenol, dan lain-lain.

Uni Lusbis menjawab pertanyaan itu dengan menyatakan kondisi Dewan Pers yang saat ini tidak ada perempuan namun jelas bahwa Dewan Pers yang secara nasional hadir untuk melindungi jurnalis termasuk jurnalis perempuan dalam menjalankan tugasnya.

“Organisasi pers lokal juga seharusnya melindungi jurnalis perempuan. Semoga acara siang ini bisa menjadi titik tolak untuk membuat jurnalis perempuan menjadi lebih kompak,” ungkap Uni Lubis yang juga Ketua FJPI Pusat.

Menurut mantan jurnalis ANTV ini, dunia media adalah media yang paling tidak repsponsif gender.

“Saya kesal pelatihan kalau pesertanya kurang apalgi tidak ada perempuan. Gender adalah soal pembagian peran bukan soal jenis kelamin. Jurnalis perempuan lebih dapat dipercaya. Banyak kelebihan jurnalis perempuan,” ungkapnya.

Pada sesi kedua tanya jawab Michelle Trans7 bertanya sekaligus memohon pencerahan bagaimana menyikapi jurnalis yang dilecehkan sesama rekan jurnalis bahkan oknum aparat polisi.

Charencia bertanya tips bagaimana membagi waktu untuk jurnalis yang sudah menjadi ‘emak-emak milenial,’. Lalu Yudith yang bertanya bagaimana caranya supaya ada jurnalis perempuan yang menjadi pengurus Dewan Pers Pusat. Semua pertanya terjawab tuntas.

Dalam kesempatan ini Uni Lubis juga membagikan tips untuk menjadi jurnalis perempuan yang sukses yaitu dengan meningkatkan sikap empati.

Selain itu, support system sangat penting dengan mendapat dukungan pekerjaan dari keluarga itu sendiri.

Ia juga mengatakan saat ini sedang mempersiapkan buku kumpulan tulisan jurnalis perempuan tentang prespektif gender.

“Rumus hidup bahagia adalah empati,”tandas Uni Lubis.

Diakhir kegiatan dirangkaikan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-6 FJPI Sulut ditandai dengan memasang lilin dibalutkan kue kokole yang merupakan kue ciri khas Minahasa. Sejumlah 30 jurnalis perempuan yang menjadi peserta aktif dalam bimtek sehari ini.

(srikandi/*)