Virus Golput Ancam Pilkada, Pangellu: KPU Harus Masif Lakukan Sosialisasi

Pimpinan Bawaslu Sulawesi Utara, Supriyadi Pangellu. (Foto:ist)

Manadoline, Manado — Golput alias sikap tidak memilih menjadi ancaman besar dalam Pilkada Serentak Lanjutan tahun 2020 di 7 Kabupaten/Kota serta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, apalagi masyarakat dikhawatirkan
Pilkada yang digelar di tengah pandemi Covid-19.

Koordinator Divisi Hukum, Humas, Data dan Informasi Bawaslu Sulawesi Utara, Supriyadi Pangellu meminta KPU harus lebih masif lagi melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember yang tinggal beberapa hari.

KPU juga harus memberikan rasa aman dan nyaman terkait dengan keselamatan warga dengan ancaman Covid-19, termasuk simulasi yang dilakukan tidak hanya mengedepankan tahapan-tahapan, tetapi bagaimana mengantisipasi membludaknya antrian warga saat pencoblosan.

“Paling tidak KPU harus memetakan potensi-potensi yang kemungkinan akan muncul saat pemungutan suara di TPS,” ungkapnya.

Pangellu menegaskan, jika kampane yang dilarang mengumpulkan banyak orang, tetapi jutru aturan tersebut ditabrak, pihaknya meminta hal tersebut wajib dilakukan saat pemilihan nanti.

Menurutnya, Pilkada menjadi tanggungjawab bersama dan peserta juga wajib meyakinkan masyarakat untuk datang menggunakan hak pilih di TPS. Ini menjadi hal penting, terutama bagi tim kampanye dan tim sukses untuk mengedukasi masyarakat.

“Kami juga sebagai pengawas Pemilu mendorong agar angka partisipasi pemilih di 9 Desember nanti sesuai yang diharapkan bersama. Masyarakat mesti sadar bahwa nasib daerah lima tahun ditentukan saat datang ke TPS dan Bawaslu menjamin suara rakyat tersampaikan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku,” ucapnya.

Secara terpisah, Dosen Kepemiluan Unsrat Manado, Ferry Liando mengatakan, golput itu sebuah fenomena yang sering terjadi baik dalam Pemilu dan Pilkada. Golput menurutnya, terjadi karena beberapa sebab diantaranya ketidakpercayaan terhadap calon-caln yang sedang berkompetisi, termasuk banyak pemilih yang trauma karena janji-janji politik yang tidak dibuktikan.

“Ketidakpercayaan itu menyebabkan mereka enggan untuk datang pemilih. Kemudian, karena kondisi sebagian masyarakat yang kini hidup dalam kondisi zona nyaman. Artinya memilih atau tidak memilih baginya tak akan mempengaruhi nasib. Golput terjadi karena sebagian masyarakat lebih tertarik untuk bekerja ketimbang untuk datang memilih. Pilkada tahun ini kemungkinan potensi masyarkat untuk tidak memilih bisa saja naik,” kata Dosen pascasarjana itu, tadi malam.
Alasan untuk tidak memilih karena takut tertular Covid-19 sangat tidak manusiawi, kemungkinan masyarakat datang ke TPS karena mereka berhasil diperdaya oleh calon dengan money politics. Hal itu menjadi daya dorong masyarakat untuk datang memilih, kemudian masyarakat yang diancam atau terintimidasi adalah ASN dan keluarga termasuk pimpinan agama dan keluarganya.

“Jadi mereka yang memilih datang ke TPS karena takut kehilangan jabatan atau takut tak mendapat fasilitas dari pemerintah. Masyarkat yang dipengaruhi politik aliran,” jelasnya.

Liando menyebutkan, KPU harus bekerja keras untuk meyakinkan publik bahwa suasana TPS itu aman dari Covid. Hanya dengan cara itu maka masyarakat akan datang ke TPS. Perlu inovasi bagi KPU dalam mensosialisasikan Pilkada aman dari covid.

“Jelaskan mekanismenya, pembatasan jumlah pemilih, model antrian, tata cata mencoblos dan pemberian tinta pada jari. Semua prosedur itu harus bebas dari covid. Tentu penting bagi KPU untuk meyakinkan publik bahwa pencoblosan itu harus benar-benar aman. Semua KPPS harus ditempelkan hasil swab testnya di tempat yang terlihat oleh publik,” pungkasnya. (hcl)