Warga Halbar Desak Kapolda dan Gubernur Malut Tutup Eksplorasi dan Produksi PT NHM

MANADO – Tidak sedikit yang ‘ditelan’ si pemilik tambang PT Nusa Halmahera Minerals terhadap hasil tambang yang sekira 22 tahun sejak berdiri. Namun sangat disayangkan, dalam kurun waktu itu, warga Halmahera Barat seakan dibodohi, ditipu, tanpa penjelasan dan sosialisasi terkait hak yang layak dan pantas diterima.

Menanggapi hal tersebut, Koalisi Masyarakat Halmahera Barat yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Maluku Utara menggugat PT Nusa Halmahera Minerals, untuk berlaku adil dan jujur. Jika tidak, atas nama seluruh masyarakat Halmahera Barat meminta Kapolda Maluku Utara dan Gubernur Maluku Utara agar sementara waktu menutup semua aktivitas eksplorasi dan produksi PT Nusa Halmahera Minerals, sampai permasalahan ini dituntaskan.

“Mencermati kondisi eksplorasi maupun eksploitasi pertambangan emas PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM), dalam kurung waktu 22 tahun sampai saat ini harus diakui kehadiran PT. NHM dapat dipandang sebagai sumber kehidupan masyarakat dalam wilayah Kabupaten Halmahera Barat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Kehadiran PT NHM sampai detik ini ternyata adalah petaka ketidak adilan, petaka bencana, petaka ketidak jujuran. Akumulasi ketidak jelasan tersebut dapat dilihat dari beberapa pendekatan, seperti pembohongan yuridis,” tegas Rino Lamo dalam orasinya selaku Koordinator Lapangan Aksi Demo Damai ke PT NHM, Rabu (3/10) berlokasi di Kairagi 1, Kombos.

Lanjut dikatakan, PT NHM dalam 22 tahun telah melakukan pembohongan yuridis secara nyata, terstruktur dan massif terhadap masyarakat halmahera barat, dimana UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangaan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 17 yang terdiri dari 3 (tiga) ayat, diantaranya (1) yang berbunyi : “Penerimaan Pertambangan Umum sebagai mana di maksud dalam 14 huruf c terdiri atas : a). Penerimaan Iuran tetap (land-rent), b). Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (Royaliti),” paparnya.

Sambungnya, untuk Ayat (2) berbunyi : Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Iuran Tetap (land-rent) yang menjadi bagian daerah sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf a, dibagi dengan rincian : a). 16 % (enam belas persen) untuk Provinsi yang bersangkutan; dan, b). 64 % (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.

“Untuk ayat (3) berbunyi : Dana Bagi Hasil Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi Royaliti) yang menjadi bagian daerah. Sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dibagi dengan rincian sebagai berikut : a.  16 %  (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; b.  32 % (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; c. 32 % (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan,” jelas Lamo.

Rino Lamo pun menerangkan, ketika kita membuka Kepres 41 Tahun 2004 tentang perijinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada dalam kawasan hutan, dengan jelas menyebutkan bahwa menetapkan tiga belas (13) ijin atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk melanjutkan kegiatan di kawasan hutan sampai berakhirnya ijin atau perjanjian dimaksud.

“Disinilah letak aspek pembohongan yuridis dimaksud. Padahal kalau dilihat dalam Lampiran Keppres 41 Tahun 2004 ini jelas termuat bahwa, telah terjadi persetujuan dengan Pemerintah pada tanggal 17 maret 1997 Nomor: B.143/Pres/3/1997, jenis ijin kontrak karya (KK), bahan Galian Emas dmp (dan matrial pengikutnya), namun perusahan PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM), tahap kegiatan produksi konstruksi Eksplorasi, lokasi Halmahera Barat dan Halmahera Utara, luas wilayah perijinan (Ha) 29.622 Ha,” sebutnya.

Dimana, ini merupakan pembohongan massif dan terstuktur terhadap masyarakat Halmahera Barat. Masyarakat Halmahera Barat selama kurung waktu 22 tahun (terhitung dari dikeluarkannya ijin atau perjanjian dalam lampiran Keppres 41/2004) telah dibohonggi oleh pimpinan maupun korporasi PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM). Kebohonggan tersebut diketahui massif karna selama 22 tahun persoalan ini terbungkus begitu rapi, bahkan sampai masyarakat Halmahera Barat merasa bukan menjadi bagian dari proses eksplorasi dan eksploitasi pertambangan dimaksud.

“Dikatakan terstruktur karena kebohongan ini berjalan sekitar 22 tahun dimulai dari status Maluku Utara masih menjadi kabupaten sampai dengan dibentuknya Undang-Undang No 1 Tahun 2003 tentang pembentukan DOB dalam wilayah Propinsi Maluku Utara. Disamping itu, sangat disayangkan sudah begitu banyak pergantian kepala daerah apakah itu propinsi maupun kabupaten Halmahera Barat  persoalan ini begitu terbungkus rapih, padahal selama 22 tahun hak masyarakat Kabupaten Halmahera barat terhadap royaliti 32% diabaikan dan bahkan sengaja terjadi pembiaran,” tandas Lamo.

Tambahnya, setelah mencermati kondisi tersebut, maka koalisi masyarakat Halmahera Barat dengan ini menyatakan sikap :

  1. Meminta dan mendesak kepada Kapolda Maluku Utara agar segera mungkin memediasi pertemuan antara Pemda Kabupaten Halmahera Barat dengan pihak PT. NHM, Tbk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
  2. Mendesak kepada, Gubernur Maluku Utara, Kapolda Maluku Utara agar menghentikan proses eksplorasi dan produksi PT. NHM, Tbk sampai masalah ini diselesaikan.

Sementara, Manager Pajak PT HNM Bayu Mahendra yang hadir memberikan keterangan mengatakan pihaknya yang ada di Manado hanyalah sebagai cabang administasi. Sementara, kantor Pusat PT NHM berada di Halmahera Utara. Sehingga, pengambilan keputusan tidak bisa dilaksanakan di Manado.

“Kami di Manado hanyalah kantor cabang urusan administasi. Kami tidak bisa mengambil kebijakan karena kantor pusat berada di Halmahera. Namum, penyampaian dari saudara-saudara Halbar sudah pasti akan saya sampaikan ke pimpinan perusahaan,” pinta Bayu.

Dalam aksi tersebut juga diisi orator oleh Marianto Mayau dan Esterlita Anu.

Penulis : stenlybeteng.