Maknai Akhir Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Dari Kacamata Ustad Muda Tidore

Tahuna- Tinggal satu hari lagi Bulan Ramadhan 1440 Hijriah sudah akan selesai dilalui oleh umat muslim. Bulan yang dikenal dengan ibadah puasa ini, merupakan bulan yang penuh ampunan, bulan dimana segala amal ibadah umat muslim dilipat-gandakan berkali-kali oleh Allah SWT. 

Berbagai ekspresi diperlihatkan umat muslim dipenghujung bulan suci ini, khususnya warga muslim Kelurahan Tidore Kabupaten Kepulauan Sangihe. Ada yang bergembira menyambutnya, karena akan memasuki 1 Syawal 1440 H atau dinamai sebagai Hari Raya Idul Fitri. Namun, tak banyak juga yang bersedih lantaran ditinggal bulan ini. Mereka bersedih karena dihati mereka, terbersit pertanyaan, apakah mereka dapat bertemu bulan suci ini di tahun depan.

Rahmat Kolong Ustad Muda Tidore

Seperti apa yang diungkapkan salah satu tokoh muda/tokoh agama Kelurahan Tidore Rahmat Kolong atau yang lebih dikenal dengan sapaan Ustad Amat. Dirinya mengutarakan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa saat datangnya Bulan Ramadhan maka bergembiralah menyambutnya, dan bersedihlah ketika kita berpisah dengan Bulan Ramadhan. 

“Ketika Ramadhan telah tiba, maka kita bergembiralah seperti bertemu seorang pacar. Dan ketika kita ditinggalkan Ramadhan, maka kita harus bersedih seperti ditinggalkan seorang ibu.”ujarnya.

Dirinya pun mengibaratkan perumpamaan seorang muslim saat berada di Bulan Syawal itu layaknya bayi yang baru lahir, suci, bersih dan tanpa dosa. Karena selama di Bulan Ramadhan mereka ditempa dengan ibadah-ibadah yang jika benar-benar dilakukan dengan ketakwaan, berimbas dengan pengampunan seluruh dosa oleh Allah SWT. 

“Barang siapa yang berpuasa dibulan Ramadhan karena keimanan kepada Allah SWT, maka dosa yang lalu, hari ini diampuni Allah SWT. Kalau saya melihat khususnya warga Tidore dalam memaknai Hari Raya Idul Fitri sebagian besar masih memegang tradisi yang dulu-dulu, tapi ada juga beberapa orang yang sudah keluar dari tradisi itu. Tapi masih dalam kategori wajar.”ungkapnya.

“Yang masih memegang tadisi lama itu seperti Tawaf yakni datang ke rumah-rumah tetangga saling bermaaf-maafan dan bersilaturahmi. Tawaf ini juga terbagi-bagi, ada tawaf lingkungan, tawaf pemuda dan juga ada tawaf ibu-ibu, terkadang juga ada tawaf per RT.”bebernya.

Lanjut tambahnya, kalau yang sudah keluar dari tradisi itu dirinya mengumpamakan dengan hal-hal yang mengundang kemubaziran, seperti berlebihan dalam membuat makanan.

“Ketika kita berpuasa belajar mensyukuri nikmat Allah SWT, kita diajarkan untuk istirahat makan karena masih banyak orang-orang yang butuh makan. Dan inti dari akhir Ramadhan itu ada pada zakat fitrah dan zakat mal dikeluarkan dan dibagi-bagi kepada orang yang membutuhkannya.”tegasnya.

Ketika disinggung tentang salah satu tradisi warga Tidore yakni Lebaran Ketupat yang dinilai buang-buang uang saja dalam menyediakan makanan. Ustad Amat pun menjelaskan bahwa awal adanya tradisi itu, makanan yang disiapkan adalah makanan makan malam yang ada dirumah saja yang disediakan untuk makan bersama. 

“Dulu itu Almarhum Abah Dahlan selaku Ketua PHBI (Panitia Hari Besar Islam) pada saat itu, pada saat lebaran ketupat makanannya adalah makan malam yang kita makan pada malam itu yang disajikan di lebaran ketupat. Karena sudah semakin ramai yang jadinya seperti yang ada saat ini. Tapi kita lihat ada nilai sedekah di situ, namun yang jadi persoalannya ada acara-acara yang mengundang maksiat.”pungkasnya. (Zul)