Kembangkan Kopra Putih, Pemuda Ini Berhasil Datangkan Ratusan Juta Rupiah Ke Sangihe

Mohamad Sutrisno Puasa saat melakukan praktek kerja di daerah Papua.

Tahuna- Tak banyak pemuda yang rela turun ke daerah, berjuang dalam meningkatkan perekonomian masyarakat disekitarnya. Terlebih lagi jika pemuda itu merupakan lulusan perguruan tinggi luar negeri. Ujung-ujungnya banyak yang memilih untuk bekerja di perusahaan besar, ketimbang harus bersusah-payah turun ke lingkungannya membantu usaha milik masyarakat. 

Dari kumpulan pemuda yang tak banyak itu tadi, Mohamad Sutrisno Puasa, pemuda kelahiran Desa Petta Timur 3 Januari 1990, hadir bagi masyarakat di Kabupaten Kepulauan Sangihe, menjadi sosok yang rela turun mengedukasi masyarakat, dalam meningkatkan nilai jual hasil buminya. 

Pria lulusan S2 University Of Canberra Australia ini, sengaja pulang ke kampung halamannya untuk mengexplore ilmu yang didapatnya, dengan membantu para petani kecil di daerahnya agar memiliki penghasilan yang tinggi. 

Diketahui saat ini dia telah mencoba mengembangkan berbagai macam sektor usaha yang sebelumnya tidak pernah dilirik, menjadi sumber pendapatan yang cukup menggiurkan. 

Dari mencoba mengembangkan budidaya rumput laut, kepiting bakau, belut, ikan air tawar dan kopra putih yang sekarang sudah menunjukan hasil yang nyata bagi masyarakat, telah ia lakukan.

Ketika disinggung media ini, kenapa ia mesti bersusah-payah turun gunung, membantu masyarakat, dirinya mengatakan hal itu bermula dari keprihatinannya kepada para petani yang dirasa tak sebanding saat menerima hasil dari jerih payahnya. 

“Mengapa saya mau turun membantu masyarakat, paling pertama itu yakni akan keprihatinan saya pada ekonomi masyarakat khususnya petani di Kepulauan Sangihe, sebab orang tua saya juga petani. Jadi berasa betul betapa sulitnya untuk bisa mendapatkan penghasilan lebih,” kata lelaki yang biasa disapa Opo Mad ini.

Dirasakan olehnya, bahwa petani yang ada di Kabupaten Kepulauan Sangihe tak memiliki koneksi untuk menjual hasil buminya keluar dengan harga yang tinggi.

Kopra putih yang beberapa hari lalu di muat ke kontainer dan siap dikirim ke pemesan melalui Tol Laut.

“Sulit dalam artian masalah para petani yang tak mendapatkan harga yang layak. Di sebabkan masih banyak petani di kepulauan Sangihe tidak memiliki kemampuan untuk menjual keluar daerah, terhalang oleh pendanaan dan pengetahuan serta koneksi,” ujarnya. 

Dari hal itulah, dia yang merasa memiliki koneksi dan pengetahuan, mencoba mengedukasi masyarakat, dengan memberitahukan beberapa peluang usaha yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatannya.

“Saya mulai dari mengajarkan pada masyarakat bagaimana membudidayakan rumput laut, kepiting bakau, belut, dan ikan air tawar. Tapi untuk sekarang saya lebih fokus ke kopra putih, mengingat bahan baku kelapa di Sangihe yang melimpah, di tambah untuk soal harga, kopra putih berada jauh di atas kopra asalan (fufu). Selain itu proses pembuatannya juga jauh lebih mudah,” ungkapnya. 

Dijelaskannya, kopra putih yang sudah beberapa bulan ini dirintisnya, tengah berbuah manis. Sudah 15 ton kopra putih yang berhasil dia jual keluar, melalui via Tol Laut, dengan harga yang lumayan tinggi dari pada harga kopra asalan (fufu). 

“Pertama mulai yakni di tahun 2019 lalu, tepatnya di bulan Agustus, bersama Pak Donald Makarewa, sebagai tenaga ahli dalam pembuatan pengeringan atau pengovenan. Jadi sekarang pembuatan kopra putih sudah tidak tergantung dengan cuaca dan waktu. Hujan, panas, siang, malam jalan terus,” bebernya. 

“Di awal bulan tahun 2020 kami (Bumdes Kasih/Desa Moade ) sudah berhasil mengirimkan produk awal/sampel hampir 5 ton. Dan di bulan ini sebanyak 10 ton dengan menggunakan jasa Tol Laut atau Pelni. Untuk harga perkilonya Rp 10.000 belum termasuk pemotongan untuk ongkos pengiriman. Kalau dipotong ongkos pengiriman jadi Rp 9000. Di tempat produksi seperti di Tahuna, Desa Moade, Desa Mala, dan Kalekube kami bayar Rp 8.500,” jelasnya. 

Ditanya apakah ditengah Pandemi Covid-19 ini, apakah mempengaruhi produksi atau permintaan, dirinya mengungkapkan hal itu tak mempengaruhi produksi maupun jumlah permintaan. 

“Alhamdulillah tidak ada pengaruhnya, malah permintaan buyer (pemesanan) makin banyak. Satu buyer malah paling sedikit minta 100 ton perbulannya. Masalah produksi juga ga terpengaruh, karena pekerjanya masyarakat setempat. Dan tidak lebih dari 10 orang pekerja untuk pengovenan,” tegasnya. 

Tak mudah menurutnya bisa sampai di titik ini. Berbagai macam kendala pun harus dilaluinya, hingga sekarang masyarakat dapat mempercayainya, bahwa memang kopra putih bisa menghasilkan harga yang cukup tinggi. 

“Kalau di awal kendalanya untuk meyakinkan masyarakat untuk beralih ke kopra putih dari kopra asalan fufu. Karena petani masih ragu dengan pemasaran, karena ditakuti tidak bakal berlangsung lama, walaupun dengan tawaran harga yang tinggi. Nah kalau untuk sekarang, kendalanya ada di permodalan. Masih banyak petani yang tidak memiliki modal untuk pembelian pengovenan, padahal mereka ingin sekali membuat kopra putih,” ungkapnya. 

Dan diakhir sesi wawancara, dirinya menyatakan harapannya kepada para petani kelapa, agar mau beralih memproduksi kopra putih. 

“Harapannya kepada masyarakat khususnya kepada para petani kopra di Kabupaten Kepulauan Sangihe, agar para petani yang biasa memproduksi kopra fufu, bisa beralih ke kopra putih, sebab tidak hanya pembuatannya saja yang mudah, tapi harganya juga jauh lebih tinggi,” pungkasnya. (Zul)